Menurut Jurnal berjudul Kebijakan Asimilasi terhadap Etnis Tionghoa di Jakarta Tahun 1966-1998 karya Hamas Assidiqi, ide asimilasi peranakan Tionghoa secara politis sebenarnya sudah dicetuskan oleh Partai Tionghoa Indonesia (PTI) sejak 1932.
Bertahun-tahun setelahnya ide asimilasi ini tetap mendapat penolakan karena dianggap enggak bijaksana dan menyalahi hak asasi manusia.
Namun, beberapa orang perwakilan dari kelompokan Peranakan punya pendapat yang berbeda.
Kelompok peranakan beranggapan bahwa asimilasi bisa jadi satu-satunya cara untuk menyelesaikan berbagai permasalahan minoritas yang dialami mereka.
Pelaksanaan politik asimilasi berarti menghilangkan perbedaan antara satu golongan dengan golongan lainnya demi menghilangkan segala bentuk upaya diskriminasi.
Piagam Asimilasi berhasil dicapai pada seminar kesadaran nasional di Bandungan, Ambarawa, Jawa Tengah pada 13-15 Januari 1960.
Pelaksanaan Politik Asimilasi di Indonesia Era Orde Baru
1. Periode Pembentukan (1966-1969)
- Pelaksanaannya berdasar Resolusi MPRS No. III/MPRS/1966 dengan jelas pada salah satu bagiannya menyatakan asimilasi sebagai satu-satunya jalan bagi etnis Tionghoa untuk meleburkan diri.
- Resolusi MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan secara tegas mendesak pemerintah untuk mengeluarkan Undang-Undang larangan terhadap sekolah-sekolah asing dan agar pemerintah membina kebudayaan-kebudayaan daerah.
- Resolusi MPRS No. XXXII/MPRS/1966 tentang pembinaan Pers menyatakan bahwa penerbitan pers dalam bahasa Tionghoa merupakan monopoli pemerintah.
Baca Juga: 3 Program Pemerintah Orde Baru di Bidang Pendidikan, Apa Saja?
Penulis | : | Ayu Ma'as |
Editor | : | Regina Pasys |
Komentar