Nasib Pers pada Era Orde Baru
Landasan perundang-undangan pers masa Orde Baru adalah Ketetapan MPRS Nomor XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers.
Pada pasal 2 ketetapan MPRS mengaitkan kebebasan pers dengan keharusan untuk bertanggungjawab kepada:
- Ketuhanan Yang Maha Esa, kepentingan rakyat dan keselamatan negara;
- kelangsungan dan penyelesaian revolusi hingga terwujudnya tiga segi kerangka tujuan revolusi;
- moral dan tata susila; serta
- kepribadian bangsa.
Pada bulan-bulan pertama pasca tragedi G 30 S, pers militer jadi pihak yang mendominasi opini politik dan opini publik.
Pers militer adalah pers yang dikelola sejumlah perwira Angkatan Darat, contihnya Berita Yudha (terbit 8 Februari 1965) dan Angkatan Bersenjata (15 Maret 1965).
Sejak 1 Oktober 1965 ada 46 surat kabar dari 163 surat kabar yang dilarang terbit oleh penguasa militer.
Pers yang enggak dibredel seperti Harian Duta Masyarakat, Kompas, dan Sinar Harapan yang kala itu ada bawah pengaruh penguasa militer.
Pers kelompok terakhir ini biasanya harus meminta izin khusus untuk melanjutkan penerbitan oleh penguasa militer.
Jika pers pada era pemerintahan orde lama di bawah Presiden Soekarno mengalami pembatasan pada kebebasan pers, hal ini juga berlangsung pada era orde baru.
Hal ini merupakan sebuah penyelewengan terhadap perundang-undangan karena pada Undang-Undang Pers Nomor 11/1966 menegaskan bahwa pers enggak dikenakan sensor dan pembredelan.
Baca Juga: Diperingati Setiap 9 Februari, Ini Sejarah dan Fakta Penting Hari Pers Nasional
Kenyataannya, tetap ada ancaman bagi kebebasan pers, bahkan lebih dari itu ada yang mengalami pemberangusan oleh pemerintah.