Find Us On Social Media :

Sudah Ada 14,8 Juta Orang Terinfeksi, Kenapa Masih Banyak yang Tak Percaya Adanya Virus Corona?

Kenapa Masih Banyak yang Tak Percaya Adanya Virus Corona?

GridKids.id - Virus corona pertama kali muncul pada tahun 2019. Sejak saat itu, virus ini menyebar dengan cepat ke berbagai negara.

Sekarang (21/7/2020), sudah ada 213 negara yang terinfeksi virus ini.

Jumlah korban di seluruh dunia pun sudah mencapai angka 14,7 juta.

Di Indonesia sendiri, Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama virus ini pada 2 Maret 2020.

Sa,pai sekarang, ada 88.214 orang terinfeksi dan 4.239 orang meninggal dunia. 

Meskipun begitu, ternyata masih banyak orang yang enggak percaya dengan adanya virus yang sudah ditetapkan WHO sebagai pandemi global ini. 

Perdebatan mengenai ada atau tidaknya COVID-19 masih terus berlanjut sampai sekarang.

Kesenjangan Informasi

Menanggapi hal itu, sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Bapak Surakarta Drajat Tri Kartono mengatakan, ketidakpercayaan publik atas adanya virus corona ini disebabkan oleh kesenjangan antara informasi dan realita.

Dalam sosiologi, agar suatu hal bisa melekat dalam tubuh seseorang, diperlukan tiga proses tahapan yang disebut konstruksi sosial atas realitas.

Ketiga proses itu adalah eksternalisasi, objektifasi, dan internalisasi.

"Eksternalisasi itu ketika orang sudah membicarakan semua, di koran dan media, mereka kemudian menangkap itu. Objektifasi itu ketika dia mulai mendalami itu, mulai menunggu, merasakan, ada ndak risiko pada saya, ada ndak dampaknya pada saya," kata Pak Drajat saat dihubungi Kompas.com, Senin (20/7/2020).

"Kalau internalisasi itu sudah masuk ke dia dan dia berpindah untuk menghindari atau menerima itu. Sudah otomatis dari dalam tubuhnya, karena kesadarannya sudah mengatur itu," sambungnya.

Baca Juga: Anti Hoaks, Inilah 7 Layanan Terpercaya untuk Informasi Virus Corona

Looking Self Glass

Sebagai tahap eksternalisasi, informasi terkait virus corona menurut Pak Drajat sangat massif di Indonesia.

Namun, ketika masuk ke dalam tahap objektifasi, banyak orang enggak mengalami atau melihat secara langsung infeksi virus corona di lingkungannya.

Karena itu, realitas yang ditangkap oleh masyarakat cuma bersifat konseptual.

"Pengalaman untuk mengalami sebuah masalah ini, tidak secara luas dialami oleh masyarakat. Ini realitas yang sifatnya bagi masyarakat selalu konseptual, tidak pernah riil. Apalagi banyak orang yang belum mengalaminya," jelanya.

"Jadi ada gap antara informasi yang dikonstruksi dengan realitas dalam kehidupan sehari-hari yang tidak seganas itu. Ini yang menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat," tambahnya.

Pak Drajat menjelaskan, salah satu karakter manusia adalah looking self glass, yaitu bertindak atas dasar proyeksi diri dengan orang lain.

Untuk memutuskan sikap dan langkah apa yang harus dilakukan, manusia biasanya melihat lingkungan sekitarnya.

Dalam kasus virus corona ini, banyak orang mungkin melihat lingkungannya bebas dari infeksi COVID-19 dan mobilitas masih terjadi.

"Maka sebenarnya informasi yang begitu besar dari ganasnya penularan corona itu bagi mereka tidak berarti karena dianggap bombastis," papar dia.

Baca Juga: Waspada Hoaks! 6 Anggapan tentang COVID-19 yang Banyak Dipercaya Ini Ternyata Cuma Mitos

Polusi Informasi

Kondisi itu juga diperburuk dengan beredarnya informasi yang saling bertolak belakang atau dalam istilah sosiologi disebut dengan polusi informasi.

Selanjutnya, Pak Drajat melihat virus corona yang enggak kunjung teratasi ini menimbulkan persepsi di tubuh masyarakat kalau dokter dan rumah sakit enggak bisa menyelesaikan ini.

Pada akhirnya, mereka pun masuk ke dalam nilai-nilai keyakinan dan kepercayaan serta enggak lagi percaya terhadap arahan medis.

"Kalau sudah masuk ke situ, dia tidak percaya dengan risiko yang diberikan oleh medis. Kalau orang kena penyakit, ya berarti Tuhan sudah menakdirkan," kata Pak Drajar.

"Semakin lama tidak ada kepastian penyelesaian penyakit ini, semakin orang kemudian mencari jalan keluar lain selain medis," tutupnya.

Oleh karena itu, Pak Drajar menyebut bahwa pemerintah saat ini perlu melibatkan seluruh stakeholder masyarakat dalam pengembangan informasi tentang COVID-19.

Sebab, pengembangan informasi COVID-19 selama ini disentralisasi oleh negara.

(Penulis : Ahmad Naufal Dzulfaroh)

Baca Juga: Demi Cegah COVID-19, Dokter Sarankan Restoran untuk Tak Memutar Lagu, Ini Alasannya

-----

Teman-teman, kalau ingin tahu lebih banyak tentang sains, dongeng fantasi, cerita misteri, dunia satwa dan  komik yang kocak, langsung saja berlangganan majalah Bobo, Mombi SD, NG Kids  dan Album Donal Bebek. Tinggal klik di www.gridstore.id.