Di 1909, Bapak Tirto akhirnya dihukum dan diasingkan ke Lampung, dan ke Maluku di 1912.
Namun, hal itu enggak menghentikan upaya Bapak Tirto untuk mengungkap kebenaran atas jalannya pemerintahan yang tirani.
Perjuangannya terus berlanjut hingga beliau wafat pada di usia muda, 38 tahun, pada 1916.
Menjelang 1920, gerakan pers enggak bungkam melainkan lebih vokal untuk mengkritik kebijakan Belanda yang sewenang-wenang.
Surat kabar Oetoesan Melajoe (1911) dan Soeara Perempuan (1918) menjadi perwakilan untuk melawan kolonialisme dengan menyebarkan semboyan kemerdekaan.
Tak hanya di bidang pers lewat terbitan berkala, kritik pada pemerintah kolonial juga datang dari karya sastra, Kids.
Salah satu karya fenomenal di era itu adalah Max Havelaar (1860) yang ditulis oleh Douwes Dekker dengan nama Multatuli.
Tulisan itulah yang sudah membuka mata dunia bahwa pada kenyataannya pemerintah kolonial telah mengeruk berbagai sumber daya alam dan membiarkan rakyat tanah jajahan miskin dan terus tertindas.
Novel lainnya yang ditulis oleh orang pribumi berjudul Hikayat Kadiroen ditulis oleh Semaoen di 1919 yang berusaha menggambarkan situasi pergerakan yang berbasis nasional hingga internasional.
Pertanyaan: |
Siapakah nama wartawati pertama di Indonesia? |
Petunjuk, cek lagi halaman 1. |
----
Ayo kunjungi adjar.id dan baca artikel-artikel pelajaran untuk menunjang kegiatan belajar dan menambah pengetahuanmu. Makin pintar belajar ditemani adjar.id, dunia pelajaran anak Indonesia.
Source | : | Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia |
Penulis | : | Ayu Ma'as |
Editor | : | Regina Pasys |
Komentar