GridKids.id - Kids, kali ini kamu akan kembali membahas kondisi Indonesia pada masa orde baru.
Kali ini kamu akan diajak membahas tentang perkembangan pers Indonesia pada era orde baru di bawah pemerintahan presiden Soeharto.
Pers pada era orde baru merupakan pihak yang diharapkan bisa jadi alat perjuangan untuk menyampaikan berbagai pemberitaan politik hingga perkembangan proses pembangunan.
Dalam buku berjudul Program Pembangunan Orde Baru oleh Arin Kusumaningrum diceritakan bahwa pada era awal orde baru terdapat peningkatan jumlah harian yang terbit daripada era pemerintahan sebelumnya.
Pada 1965 terdapat 111 harian yang menghasilkan sekitar 1.432.850 eksemplar, dan terbitan mingguan sebanyak 84 buah dengan 1.153.800 eksemplar.
Sedangkan pada 1966 ada 132 harian yang menghasilkan 2 juta eksemplar dan terbitan mingguan sebanyak 114 buah yang menghasilkan kurang lebih 1.542.200 eksemplar.
Pasca tragedi berdarah di akhir September 1965, ada 46 surat kabar dari 163 surat kabar yang dilarang terbit atau dibredel oleh penguasa militer karena dituduh mendukung peristiwa G 30 S.
Peningkatan jumlah terbitan surat kabar harian dan mingguan pada 1966 karena terbitan yang sebelumnya dibredel kembali terbit di era orde baru.
Namun, setahun setelahnya jumlah surat kabar kembali berkurang, jumlah terbitan harian berkurang sebanyak 31 buah hingga menjadi 101 buah yang menghasilkan 893.500 eksemplar.
Lalu, terbitan mingguan berkurang 20 buah menjadi 94 buah terbitan yang menghasilkan 908.950 eksemplar.
Bagaimana perkembangan pers pada era pemerintahan orde baru yang kala itu masih berupaya mencapai kestabilan politik pasca tragedi 1965?
Baca Juga: 7 Prinsip Demokrasi dalam Sebuah Negara, Salah Satunya Kebebasan Pers
Nasib Pers pada Era Orde Baru
Landasan perundang-undangan pers masa Orde Baru adalah Ketetapan MPRS Nomor XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers.
Pada pasal 2 ketetapan MPRS mengaitkan kebebasan pers dengan keharusan untuk bertanggungjawab kepada:
Pada bulan-bulan pertama pasca tragedi G 30 S, pers militer jadi pihak yang mendominasi opini politik dan opini publik.
Pers militer adalah pers yang dikelola sejumlah perwira Angkatan Darat, contihnya Berita Yudha (terbit 8 Februari 1965) dan Angkatan Bersenjata (15 Maret 1965).
Sejak 1 Oktober 1965 ada 46 surat kabar dari 163 surat kabar yang dilarang terbit oleh penguasa militer.
Pers yang enggak dibredel seperti Harian Duta Masyarakat, Kompas, dan Sinar Harapan yang kala itu ada bawah pengaruh penguasa militer.
Pers kelompok terakhir ini biasanya harus meminta izin khusus untuk melanjutkan penerbitan oleh penguasa militer.
Jika pers pada era pemerintahan orde lama di bawah Presiden Soekarno mengalami pembatasan pada kebebasan pers, hal ini juga berlangsung pada era orde baru.
Hal ini merupakan sebuah penyelewengan terhadap perundang-undangan karena pada Undang-Undang Pers Nomor 11/1966 menegaskan bahwa pers enggak dikenakan sensor dan pembredelan.
Baca Juga: Diperingati Setiap 9 Februari, Ini Sejarah dan Fakta Penting Hari Pers Nasional
Kenyataannya, tetap ada ancaman bagi kebebasan pers, bahkan lebih dari itu ada yang mengalami pemberangusan oleh pemerintah.
Konflik antara pers- pemerintah selama beberapa tahun berkisar akan tuduhan korupsi pada beberapa oknum penguasa.
Pemberitaan pers berkaitan dengan aksi-aksi unjuk rasa mahasiswa yang dianggap mengusik penguasa.
Kala itu dipicu juga oleh makin maraknya tuduhan korupsi, kolusi, dan nepotisme oleh para konglomerat.
Kegiatan bisnis putra-putri Presiden yang makin mencolok juga memicu konflik di masyarakat makin parah.
Tekanan-tekanan dari pemerintah disalurkan pada pers lewat sidang-sidang Dewan Pers yang dipimpin oleh Menteri Penerangan lewat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
----
Ayo kunjungi adjar.id dan baca artikel-artikel pelajaran untuk menunjang kegiatan belajar dan menambah pengetahuanmu. Makin pintar belajar ditemani adjar.id, dunia pelajaran anak Indonesia.
Penulis | : | Ayu Ma'as |
Editor | : | Regina Pasys |
Komentar