Meski dipercaya berasal dari Indramayu, kue nagasari cukup banyak dikonsumsi dan diproduksi di daerah-daerah lainnya di Pulau Jawa.
Kue ini sering disajikan dalam acara-acara adat penting di Jawa, misalnya upacara keagamaan atau rangkaian acara selamatan daur hidup masyarakat.
Kue nagasari punya beberapa variasi, di antaranya nagasari putih (santan), nagasari merah (gula jawa), nagasari biru (bunga telang), dan nagasari hijau (daun suji).
Versi cerita sejarah yang menceritakan tentang asal-mula kue nagasari berasal dari Kerajaan Pajang pada paruh pertama abad 16 M.
Seorang pendeta Buddha bernama Mahawiku Astapaka dalam perjalanan untuk merayakan Waisak di Candi Borobudur mampir berlabuh di pelabuhan Nusupan atau Bandar Semangi (pelabuhan kuno di Solo).
Sang pendeta disambut oleh Adipati Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yang memintanya untuk mampir dan bermalam di ibukota Pajang sebelum melanjutkan perjalanannya.
Sang pendeta buddha yang setuju untuk mampir disuguhi hidangan tanpa daging dan ikan, melainkan sebuah panganan yang terbuat dari tepung beras dengan irisan pisang di dalamnya (nagasari).
Suguhan itu membuat sang pendeta terkesan dan mengadakan sebuah upacara untuk mendoakan kesejahteraan dan kemakmuran kerajaan Pajang.
Baca Juga: Filosofi Bubur Sumsum, Makanan Tradisional yang Mengajarkan Tentang Rasa Syukur
Selain itu, sang pendeta juga menanam pohon Dewandaru untuk mengenang kedatangannya ke Pajang dan kebaikan tuan rumah yang sudah menyambutnya.
Panganan yang disuguhkan padanya lalu diberi nama nagasari, karena tampilannya yang mengingatkan sang pendeta dengan pohon dewandaru.
Penulis | : | Ayu Ma'as |
Editor | : | Regina Pasys |
Komentar