GridKids.id - Kids, pernahkah kamu mendengar tentang tumbuhan indigofera? Di Indonesia, tumbuhan ini dikenal juga dengan nama nila, tarum, indigo, atau tom.
Tanaman ini bisa dipergunakan sebagai pewarna alami yang sering digunakan sebagai pewarna kain.
Selain warnanya yang cantik, limbah indigofera enggak akan mencemari lingkungan seperti pewarna kain yang menggunakan bahan-bahan kimia yang terkandung di dalamnya.
Dosen Teknik Kimia UGM Yogyakarta, Edia Rahayuningsih, mengungkapkan bahwa penggunaan tanaman indigofera sebagai pewarna alami merupakan salah satu upaya untuk mengubah kebiasaan pewarnaan batik menggunakan pewarna sintesis seperti naptol, remasol, indigosol, yang berbahaya enggak hanya bagi lingkungan tapi juga bagi manusia.
Baca Juga: Mengenal 5 Teknik Umum Dalam Proses Pembuatan Kain Batik, Apa Saja?
Menurut studi pustaka dan bukti sejarah, tanaman indigofera sudah digunakan sebagai pewarna di negara-negara Asia Tenggara. Pada abad ke-16, Indonesia sudah melakukan budidaya indigofera dalam skala besar.
Indigofera atau nila bahkan menjadi salah satu tanaman wajib dalam sistem cultuurstelsel yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Keberadaan Indigofera digantikan pewarna buatan
Ketika itu budidaya indigofera digalakkan untuk menyaingi pewarna dari bahan woad (Isatic tinctoria) yang dibudidayakan di Perancis, Jerman, dan Inggris.
Indonesia sempat menguasai pasaran sebagai pemasok zat warna indigo hingga ke pasar dunia melalui budidaya indigofera ini.
Namun, sejak 1897, banyak pengusaha yang beralih menggunakan pewarna sintesis sebagai pewarna untuk batik.
Semenjak kemunculan pewarna sintetis, pewarna indigofera semakin redup dan dilupakan. Bahkan keputusan pemerintah Belanda untuk menghentikan impor pewarna buatan pada 1914 mendapat protes keras dari para pengusaha batik.
Baca Juga: Jawaban Pertanyaan Berdasar Teks
Pewarna buatan memang lebih disukai karena harganya yang murah, praktis, dan menghasilkan warna yang lebih cerah.
Hal inilah yang membuat para pengusaha batik tetap menggunakan pewarna buatan untuk menjalankan industrinya meski penggunaan bahan pewarna sintesis sudah dilarang sejak 1996.
Pelarangan ini berkaitan dengan efek yang ditimbulkan dari limbah pewarna sintesis yang enggak ramah lingkungan.
Limbah pewarna buatan mencemari lingkungan
Limbah-limbah yang mengalir dalam tanah bisa merusak ekosistem tanah sebab para bakteri yang tumbuh dalam tanah enggak bisa memproses atau mengurai bahan-bahan kimia yang terkandung dalam limbah.
Kesadaran masyarakat yang mulai menunjukkan perhatian pada kelangsungan dan kelestarian lingkungan, penggunaan kembali indigofera sebagai pewarna untuk industri tekstil haruslah dikampanyekan dengan lebih intens.
Dengan semakin berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan, akan memungkinkan pengolahan indigo sebagai pewarna dengan lebih efisien dan masif.
Bahkan kualitas pewarna alami ini enggak hanya menarik pembeli lokal, tapi bisa menjangkau pembeli dan penggiat kelestarian lingkungan dari luar negeri seperti dari Jepang dan Korea.
Baca Juga: 8 Motif Batik dari Jawa Barat yang Unik dan Bervariasi, Apa Saja?
Itulah uraian singkat tentang indigofera, tanaman penghasil warna alami yang memiliki potensi untuk bisa dikembangkan dan jadi alternatif pewarna batik yang lebih ramah lingkungan di masa kini.
Semoga semakin banyak pengusaha tekstil atau batik yang beralih menggunakan pewarna indigofera seperti dulu supaya lingkungan kita bisa diselamatkan dari limbah-limbah kimia, ya, Kids.
----
Ayo kunjungi adjar.id dan baca artikel-artikel pelajaran untuk menunjang kegiatan belajar dan menambah pengetahuanmu. Makin pintar belajar ditemani adjar.id, dunia pelajaran anak Indonesia.
Source | : | nationalgeographic.grid.id |
Penulis | : | Ayu Ma'as |
Editor | : | Regina Pasys |
Komentar