Sebagai wujud protes dan tuntutan agar buruh juga mendapat THR, buruh kemudian melakukan aksi mogok kerja pada 13 Februari 1952 agar tuntutannya dipenuhi Pemerintah.
Pada saat itu awalnya pemerintah masih mengabaikan suara buruh.
Akan tetapi, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) terus berjuang meminta buruh mendapat THR sebesar satu bulan gaji.
Kemudian, kabinet Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri kedelapan Indonesia, mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raja kepada Pegawai Negeri.Tetapi kini THR telah diberikan kepada pekerja dengan sesuai aturan perundangan.
Buruh gencar menuntut pemerintah. Karena tekanan itu, Menteri Perburuhan S.M. Abidin mengeluarkan Surat Edaran nomor 3676/54 mengenai “Hadiah Lebaran”.
Pemerintah juga mengeluarkan surat-surat edaran tentang THR pada rentang 1955-1958.
Namun, karena hanya berupa imbauan, surat edaran ini belum memberi jaminan THR bagi buruh.
Tuntutan buruh yang berharap pemberian THR lantas didengar oleh Presiden Soekarno.
Ahem Erningpraja yang menjabat sebagai Menteri Perburuhan di masa pemerintahan Soekarno lalu menerbitkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1/1961.
Baca Juga: Tetap Berikan THR Walau Pendapatan Menurun, Sule: Alhamdulillah Masih Ada Tabungan
Tiga tahun setelahnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Pemenaker) Nomor 4 Tahun 1994 tentang THR Keagamaan untuk pekerja swasta di perusahaan.
Ketentuan yang mengatur pemberian THR bagi pekerja juga berlanjut ketika Orde Baru dengan dikeluarkannya Permenaker RI No. 04/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan.Aturan Pemberian THR Keagamaan di Indonesia