Find Us On Social Media :

Sejarah Tengkleng, Kuliner Solo yang Lahir dari Masa-Masa Sulit

Tengkleng adalah salah satu makanan khas Solo berupa olahan tulang dan jeroan kambing yang dimasak dengan bumbu-bumbu khas. Seperti apa sejarah kuliner yang satu ini?

GridKids.id - Kids, dalam hitungan hari umat Muslim di seluruh dunia akan merayakan Hari Raya Idul Adha 1444 H.

Ketika bicara tentang Hari Raya Idul Adha enggak bisa lepas dari beragam kuliner khasnya yang terbuat dari olahan daging kambing atau sapi.

Nah, kali ini GridKids akan secara khusus mengajakmu melihat sejarah dari salah satu kuliner yang umum disajikan di hari raya Idul Adha yaitu tengkleng.

Dilansir dari laman pariwisatasolo.surakarta.go.id, tengkleng adalah salah satu makanan mirip gulai tapi kuahnya enggak ditambahkan santan.

Tengkleng dibuat dari tulang belulang kambing yang masih ada sebagian daging menempel di sana.

Tak hanya tulang, tengkleng juga ditambahkan dengan berbagai bagian jeroan kambing, hingga berbagai organ seperti otak, mata, telinga, pipi, kaki, dan lain sebagainya.

Tengkleng sebagai salah satu kuliner khas Solo dikenal punya cita rasa lezat yang terkenal dan diakui oleh para pecinta kuliner khas.

Tahukah kamu sejarah di balik kuliner tengkleng yang lezat dan khas ini ada sejarah di baliknya?

Yuk, simak sama-sama uraian cerita sejarahnya di bawah ini, Kids.

Sejarah Kuliner Tengkleng

Dilansir dari laman kompas.com, menurut keterangan Bapak Heri Priyatmoko seorang Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma yang menaruh perhatian di sejarah kuliner, mengungkap bahwa kuliner tengkleng lahir dari kondisi sulit di masa lampau.

Baca Juga: Sejarah Sajian Gulai, Kuliner Perpaduan Rempah Nusantara dan India

Disebutkan bahwa tengkleng di Solo lahir dari kreativitas masyarakat ketika masa pendudukan Jepang yang sulit pangan terjadi di mana-mana.

Bahan panganan yang terbatas lalu mendorong masyarakat untuk berkreasi dengan apa yang tersedia untuk mengganjal perut.

Kala itu limbah kambing yang enggak digunakan dan diolah menjadi salah satu sumber bahan makanan penting, lo, Kids.

Masyarakat Solo di masa pendudukan Jepang lalu mengolah tulang belulang dan jeroan kambing dengan bumbu-bumbu supaya lezat untuk disantap.

Limbah tulang belulang dan jeroan dulunya menjadi bagian yang disisihkan dan enggak digunakan oleh orang-orang kelas sosial tinggi kala itu.

Dalam sebuah jurnal tentang Pemetaan Wisata Kuliner Khas Kota Surakarta, kuliner tengkleng lahir dari perbedaan kelas ekonomi saat itu.

Daging adalah salah satu bahan makanan yang enggak terjangkau oleh orang-orang biasa.

Banyak pembesar dan orang-orang Eropa saja lah yang bisa menjangkau bahan makanan ini.

Namun, mereka enggak mengonsumsi atau mengolah tulang belulang juga jeroan kambing.

Bagian itu lah yang dimanfaatkan dan diolah oleh masyarakat Solo sebagai salah satu bahan makanan sumber protein.

Tengkleng dianggap sebagai salah satu kuliner yang agak mirip dengan sajian gulai kambing, mulai dari warna juga beberapa bahan atau bumbu untuk memasaknya.

Baca Juga: Sejarah Tongseng Khas Jawa Tengah, Sajian yang Dipengaruhi Budaya Timur Tengah

Namun, ada perbedaan kentara antara gulai dan tengkleng yang bisa dengan mudah kamu perhatikan, Kids.

Kuah gulai lebih kental daripada kuah tengkleng.

Tengkleng juga dinikmati dengan cara digigiti sedikit demi sedikit, nih.

Hal ini karena banyak tulang belulang yang masih ada sedikit daging yang menempel padanya.

Berbeda dengan gulai yang bagian-bagian daging kambingnya sudah dipotong-potong supaya bisa dinikmati dengan mudah.

Meski cara mengonsumsi makan tengkleng dianggap enggak cantik dan aestetik, tapi kuliner satu ini punya filosofi tersendiri, lo, Kids.

Pada sajian tengkleng yang kaya tulang belulang, ada sumsum tulang yang lezat dan khas.

Cara untuk menikmatinya adalah disesap perlahan sampai bisa mendapatkan bagian sumsum yang tersembunyi dalam tulang.

Nah, cara makan ini ternyata menunjukkan perjuangan supaya enggak menyerah menghadapi hal-hal sulit dalam hidup.

Menurut Bapak Heri Priyatmoko, memanfaatkan tulang belulang dan jeroan yang disisihkan dan enggak dikonsumsi ini masih masuk dalam filosofi hidup orang Jawa, Kids.

Bagi orang Jawa pantang menyisakan atau membuang makanan karena makanan adalah rezeki dari Tuhan.

 ----

Ayo kunjungi adjar.id dan baca artikel-artikel pelajaran untuk menunjang kegiatan belajar dan menambah pengetahuanmu. Makin pintar belajar ditemani adjar.id, dunia pelajaran anak Indonesia.